Sejarah desa masih menarik minat ahli sejarah karena hampir semua peristiwa sejarah berawal atau terjadi di daerah pedesaan. Desa sebagai kesatuan teritorial dan administratif yang terkecil di Indonesia,memiliki karakter tersendiri disebabkan masing-masing desa atau daerah terbentuk melalui proses sejarah yang panjang dan berbeda-beda. Demikian halnya dengan Desa Saradan di Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul.
Awal Mula dusun Saradan adalah dari kampung kecil terdiri dari lima rumah yang bernama Dusun Timang. Walaupun hanya bercikal bakal lima rumah, kampung ii terlihat menonjol sehingga dinamakan Timang. Timang sendiri dalam Bahasa Jawa adalah gesper ikat pinggang yang biasanya terbuat dari logam yang mengkilap. Dusun Timang ini apabila dilihat dari kejauhan, dari atas tempat yang agak tinggi terlihat seperti pulau kecil karena lima rumah tersebut dikelilingi pohon bambu yang rimbun dan subur. Lima keluarga tersebut hidup dengan damai dan kompak tanpa pernah ada perselisihan, hidupnya bercocok tanam sebagai petani serta menanam apa saja yang cocok dan tumbuh untuk dapat dipanen serta dimakan oleh seluruh keluarga.
Seiring dengan perkembangan zaman, lingkungan di wilayah timang ini dikelilingi oleh sawah dan ladang yang subur. Bagian bawah yang dekat dengan air menjadi persawahan dan di bagian atas yang tanahnya tinggi, dijadikan kebun-kebun dan hutan yang dipelihara masyarakat berupa pohon-pohon yang bermanfaat untuk kehidupan. Dari lima keluarga yang tinggal di Timang itu akhirnya berkembang dan beranak pinak menjadi banyak sehingga perlu perluasan wilayah tanah garapan yang dibutuhkan. Setelah itu, para tokohnya mengajukan untuk membuka lahan baru, atau orang jawa menamakan “trukan”, “turu nekan”, “truka:turuneka”, dalam Bahasa Jawa “truka”, “trukah” itu adalah membuka tanah untuk tempat tinggal atau membuka dusun baru. Awal mula pembukaan trukan itu hanya membuat gubuk-gubuk sederhana untuk tempat istirahat sejenak sembari bertani. Akan tetapi, lama-lama gubug-gubug itu juga menjadi tempat tidur karena seharian bekerja dan sering tidak pulang ke rumah.Truka, trukan maupun trukah tersebut terwujud menjadi nyata. Ada dua trukan yang menonjol, yaitu trukan wetan dan trukan kulon.
Trukan wetan dikemudian hari dinamakan Pancuran atau yang sekarang dinamakan Pedukuhan Pancuran. Sangat tepat kiranya nama tersebut karena di pinggir jalan kecil itu terdapat air yang mengucur seperti pancuran sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mencuci pakaian, mandi pasatan, pususan maupun untuk menginjak-injak gadung agar kandungan racun di dalam gadung dapat hilang terbawa air. Tahun 1990-an pancuran ini masih ada dan berfungsi dengan baik karena selalu dirawat dan dibersihkan lingkungannya sehingga siapapun dapat menggunakannya.
Trukan kulon yang sekarang disebut Saradan, atau kini dinamakan Padukuhan Saradan. Orang Jawa memberi nama biasanya disesuaikan dengan alam sekitarnya. Kebetulan di sekitar Trukan Kulon banyak tumbuh pohon Saradan, pohonnya berduri panjang sangat lebat dan tajam, buahnya kecil-kecil berwarna merah dan rasanya asam manis. Pada saat ini, pohon tersebut tidak banyak kita jumpai, namun masih ada di daerah tersebut. Kemungkinan besar pertimbangannya adalah karena masalah durinya yang banyak dan tajam. Perombakan tanaman saradan ini biasanya digantikan dengan tanaman lain yang lebih memiliki nilai tambah bagi perekonomian masyarakat.
Dengan demikian, secara historis atau sejarah tradisional, Padukuhan Saradan dan Pancuran ini adalah bersaudara karena berasal dari trah atau keturunan yang sama, yaitu Timang. Keluarga Timang berkembang sehingga masyarakatnya menjadi makin banyak, beranak pinak, dan memenuhi kedua Dusun tersebut. Potensi kayu sebagai bahan pembuat rumah dan kerajinan mebel juga berkembang semakin maju sampai saat ini sehingga masyarakatnya semakin mandiri, hidup dengan aman, tentram, bahagia, dan sejahtera.
Disusun oleh:
Salma Rahmadhani – KKN UII